3. Gala Dinner
1
tahun yang lalu. Pukul 8 malam waktu ibukota.
Stiletto putih berdenting pelan dengan lantai
marmer, seorang perempuan berambut hitam memasuki ruangan. Rambutnya digulung
ke atas, sehingga menampakkan lehernya yang jenjang dan pundaknya yang dikemas
dalam balutan baju putih dengan gaya off-shoulder.
“Selamat malam, Nona. Wine?”
“Tidak, terima kasih.”
“Mau kuambilkan yang lain? Juice?”
“Tidak, terima kasih.”—“Aku akan mengatakannya
jika butuh itu nanti.”
Pelayan itu berlalu, untuk kemudian digantikan
kehadirannya dengan seorang laki-laki bertubuh tegap dengan lengan yang kokoh.
“Selamat malam. Kau, Miralda Rijasa?”
“Oh, benar sekali.” Miralda menatap wajah
laki-laki itu dan menaikkan sedikit alisnya,
meminta penjelasan secara tidak
langsung atas identitas lawan bicaranya.
“Marco Aldebaran.”—Tangan laki-laki itu
diulurkan, menawarkan jabatan tangan yang
disapa hangat oleh Miralda—“Senang
berkenalan denganmu, Nona Rijasa.”
“Terima kasih, Tuan Aldebaran.”
“Aku adalah salah satu pemegang saham di
perusahaan penyelenggara acara ini. Acara makan malam bagi pengusaha, kurasa?
Bagaimana menyebutnya, ya?”
“Gala
Dinner untuk para investor berkumpul.”
“Ah mungkin itu terdengar lebih baik.”
“Jadi, bagaimana kau mengenalku?”
“Andre.”
“Ah, sialan.” Miralda tertawa pelan. “Senang
sekali dia memberi tahu orang lain tentang identitasku.”
Marco tersenyum. "Tidak, bukan begitu, Nona
Rijasa. Kebetulan—“
“Berhenti memanggilku Nona Rijasa. Panggil saja
nama depanku, Miralda.”
“Ah ya, Miralda. Panggil aku Marco, jika kau
tidak keberatan.”
“Tentu saja.”
“Jadi kulanjutkan, kebetulan aku dan Andre
berada dalam satu apartemen. Maksudku, berdekatan. Kami sering bertemu di basement, dan kemudian kami jadi saling
berkenalan, saat di basement mobil milik Andre mendadak gagal menyala.”
Marco memasukkan tangannya ke saku celana di balik jas hitamnya. “Lantas, aku
membantunya. Karena itu kami jadi berkenalan, perlahan akrab dan akhirnya
mengetahui, bahwa kami menanamkan saham di perusahaan yang sama.”
“Menarik.” Miralda menggoyangkan kepalanya.
“Kami sering berbincang bersama dan akhirnya
bersama rekan kerjaku kami pergi makan malam.” Marco tertawa pelan. “Pertama
kali aku melihatmu, Miralda. Saat ponsel Andre menyala karena kau menelfon dan
fotomu terpampang jelas di layar ponselnya.”
Miralda terdiam, tertarik mendengar
kisah-kisah klasik ala pria dalam memilih wanita.
“ ‘Perempuan itu cantik sekali, Dre.’ Aku
berkata begitu saat ia selesai menelfonmu.”—“Lantas Andre tertawa dan
menjelaskan bahwa kau rekan kerja, dan berlanjut hingga menjelaskan sebagian
latar belakangmu, Miralda Rijasa.”
Miralda diam. Terbuka sekali laki-laki ini, fikirnya.
Miralda akhirnya membalas dengan tersenyum.
“Maaf jika aku lancang. Kau datang sendiri,
Miralda?” Marco bertanya hati-hati.
“Kebetulan hari ini sedang sendiri.”
Marco berdehem pelan. “Kalau begitu, mau
bergabung dengan rekan-rekanku di meja itu?” Matanya melirik ke arah meja yang
terletak di bagian depan.
“Tidak, maafkan aku. Terima kasih banyak untuk
tawarannya, tapi aku lebih suka jika harus berkeliling, berkenalan, dan mencari
tempatku sendiri.”
“Baiklah.”—“Kalau begitu sampai jumpa.”
Komentar
Posting Komentar