Postingan

Bisu

Debur ombak itu seakan berbicara, Pada tepi pantai yang dihampirinya. Namun semua terasa bisu. Semua sungguh mengharu biru. Hening, hening. Tidak ada yang bergeming. Pagi, siang, sore, senja dan malam. Lautan hatiku sudah temaram. Cinta, sampai kapan aku harus menunggumu pulang? Apakah sampai jiwaku usang?

Purnama

Malam-malam gelap, dan angin malam. Udara dingin, dan kesunyian. Bintang-bintang kebahagiaan di malam itu, tertutup awan hitam ketakutanku. Belasan purnama telah terlewati, tak satupun darinya yang kau temani. Cahaya purnama malam itu, Bersinar dibalik awan hitam, Dan rinduku, Dan gelap malam. Dingin menyergap sekujur tubuhku, Kaku, Aku kaku. Yang kulihat di sudut matamu bukanlah aku.

3. Gala Dinner

1 tahun yang lalu. Pukul 8 malam waktu ibukota. Stiletto putih berdenting pelan dengan lantai marmer, seorang perempuan berambut hitam memasuki ruangan. Rambutnya digulung ke atas, sehingga menampakkan lehernya yang jenjang dan pundaknya yang dikemas dalam balutan baju putih dengan gaya off-shoulder . “Selamat malam, Nona. Wine ?” “Tidak, terima kasih.” “Mau kuambilkan yang lain? Juice ?”  “Tidak, terima kasih.”—“Aku akan mengatakannya jika butuh itu nanti.” Pelayan itu berlalu, untuk kemudian digantikan kehadirannya dengan seorang laki-laki bertubuh tegap dengan lengan yang kokoh. “Selamat malam. Kau, Miralda Rijasa?” “Oh, benar sekali.” Miralda menatap wajah laki-laki itu dan menaikkan sedikit alisnya,  meminta penjelasan secara tidak langsung atas identitas lawan bicaranya. “Marco Aldebaran.”—Tangan laki-laki itu diulurkan, menawarkan jabatan tangan yang  disapa hangat oleh Miralda—“Senang berkenalan denganmu, Nona Rijasa.” “Terima kasih,

2. Sarapan

Jam di dinding menunjukkan pukul 10 pagi, saat seorang laki-laki masuk membawa nampan berisi kopi ke dalam ruang berdinding kaca itu. “Nona Miralda, ini kopimu.” Laki-laki paruh baya itu meletakkan kopi di atas meja. “Terima kasih, pak Heru. Semoga harimu menyenangkan. Maaf sudah merepotkanmu pagi-pagi begini.” “Sudah tugasku, Nona. Semoga semua berjalan lancar hari ini.” “Terima kasih lagi, pak.” Pak Heru keluar dari ruangan Miralda Rijasa, seorang event organizer, wedding consutant, atau apapun kau menyebutnya: dia adalah orang yang pandai mengatur sebuah acara secara manis. “Permisi, Nona Rijasa.” Pintu kayu yang kokoh itu di buka sedikit. “Aku bisa masuk?” “Tentu saja, Andre. Silahkan masuk.” Orang yang dipanggil Andre itu masuk. “Minggu depan aku harus mengerjakan event di Bali. Aku menawarkanmu barangkali mau  ikut?” Ia duduk di kursi yang bersebrangan dengan meja kerja lawan bicaranya. “Tidak-tidak. Kurasa kau bisa menyelesaikan peker

1. Makan Siang

Ruangan yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca itu sangat hening. Tidak ada suara apapun selain suara kertas di atas meja yang terus dibolak-balikan. Kriiiiing! Telfon di meja berdering memecah keheningan, seorang perempuan muda mengangkat  telfon. “Halo, Nona Rijasa.” Seseorang berbicara di ujung sana. “Halo, sayang. Kenapa menelfon siang-siang begini?” “Ajakan makan siang untukmu, Nona.” “Setengah jam lagi?” “Oke, setengah jam lagi silahkan turun. Aku akan menunggu di lantai bawah.” *** “Bagaimana pekerjaanmu hari ini, Al?” Laki-laki itu memulai pembicaraan, “Menyenangkan. Aku akan menjadi wedding consultant untuk beberapa klien kira-kira  selama satu bulan ke depan.” “itu artinya kau sibuk.” “Tidak juga. Sudah biasa. Memang kenapa?”   “Sebenarnya aku membutuhkan bantuanmu.” “Untuk?” “Begini.” Laki-laki itu menjawab, dijeda dengan minum satu teguk iced lemon tea miliknya.  “Aku butuh event organizer u

Hari ini, esok, dan seterusnya.

Bulan purnama selalu menyenangkan, Aku selalu suka. Tapi hari ini, esok, dan seterusnya, Aku tidak tahu apakah aku tetap suka.