2. Sarapan
Jam di dinding menunjukkan pukul 10 pagi, saat
seorang laki-laki masuk membawa nampan berisi kopi ke dalam ruang berdinding
kaca itu.
“Hmmm—mm. Cepat temui dia. Dia tidak mau masuk sendiri ke ruanganmu, harus sekali aku repot-repot menjadi perantara hanya untuk makananmu itu. Sana, cepat!”
“Aku ikut denganmu, Dre. Tunggu.” Miralda bangkit dari meja kerjanya, rambut hitamnya yang dijepit dilepas, dibiarkan tergerai hingga punggung.
***
“Terima kasih sudah mau membawakanku makanan.”
“Dengan senang hati.”—“Aku tidak ditawari naik ke ruanganmu?”
Miralda menghela nafas pelan. “Ayo naik. Sebenarnya kau bisa masuk ke ruanganku kapan saja. Kenapa harus dijemput begini sih? Dasar manja”
Marco tertawa pelan. “Sengaja.”—“Kau itu perlu sedikit olahraga.”
“Nona Miralda, ini kopimu.” Laki-laki paruh
baya itu meletakkan kopi di atas meja.
“Terima kasih, pak Heru. Semoga harimu
menyenangkan. Maaf sudah merepotkanmu pagi-pagi begini.”
“Sudah tugasku, Nona. Semoga semua berjalan
lancar hari ini.”
“Terima kasih lagi, pak.”
Pak Heru keluar dari ruangan Miralda Rijasa,
seorang event organizer, wedding consutant,
atau apapun kau menyebutnya: dia adalah orang yang pandai mengatur sebuah acara
secara manis.
“Permisi, Nona Rijasa.” Pintu kayu yang kokoh
itu di buka sedikit. “Aku bisa masuk?”
“Tentu saja, Andre. Silahkan masuk.”
Orang yang dipanggil Andre itu masuk.
“Minggu depan aku harus mengerjakan event di Bali. Aku menawarkanmu
barangkali mau
ikut?” Ia duduk di kursi yang bersebrangan dengan meja kerja
lawan bicaranya.
“Tidak-tidak. Kurasa kau bisa menyelesaikan
pekerjaan itu dengan baik sendirian.” Miralda mengangkat bahunya sedikit.
“Baiklah. Nanti akan kuminta Natalie untuk
menyelesaikan dokumen yang harus kau tanda tangani, legalitasku pergi mengurus event.”
“Aye, mengerti.”
Andre bangkit dari kursi dan berjalan menjauhi
meja Miralda, kemudian dengan mengejutkan berbalik dan berteriak “Astaga!”
“Eh?”
“Aku lupa. Marco ada di bawah, dia
membawakanmu makan siang. Padahal ini masih pukul 10.”
“Mungkin lebih tepat kau sebut sarapan.”
“Hmmm—mm. Cepat temui dia. Dia tidak mau masuk sendiri ke ruanganmu, harus sekali aku repot-repot menjadi perantara hanya untuk makananmu itu. Sana, cepat!”
“Aku ikut denganmu, Dre. Tunggu.” Miralda bangkit dari meja kerjanya, rambut hitamnya yang dijepit dilepas, dibiarkan tergerai hingga punggung.
***
“Terima kasih sudah mau membawakanku makanan.”
“Dengan senang hati.”—“Aku tidak ditawari naik ke ruanganmu?”
Miralda menghela nafas pelan. “Ayo naik. Sebenarnya kau bisa masuk ke ruanganku kapan saja. Kenapa harus dijemput begini sih? Dasar manja”
Marco tertawa pelan. “Sengaja.”—“Kau itu perlu sedikit olahraga.”
Komentar
Posting Komentar