1 tahun yang lalu. Pukul 8 malam waktu ibukota. Stiletto putih berdenting pelan dengan lantai marmer, seorang perempuan berambut hitam memasuki ruangan. Rambutnya digulung ke atas, sehingga menampakkan lehernya yang jenjang dan pundaknya yang dikemas dalam balutan baju putih dengan gaya off-shoulder . “Selamat malam, Nona. Wine ?” “Tidak, terima kasih.” “Mau kuambilkan yang lain? Juice ?” “Tidak, terima kasih.”—“Aku akan mengatakannya jika butuh itu nanti.” Pelayan itu berlalu, untuk kemudian digantikan kehadirannya dengan seorang laki-laki bertubuh tegap dengan lengan yang kokoh. “Selamat malam. Kau, Miralda Rijasa?” “Oh, benar sekali.” Miralda menatap wajah laki-laki itu dan menaikkan sedikit alisnya, meminta penjelasan secara tidak langsung atas identitas lawan bicaranya. “Marco Aldebaran.”—Tangan laki-laki itu diulurkan, menawarkan jabatan tangan yang disapa hangat oleh Miralda—“Senang berkenalan denganmu, Nona Rijasa.” “Terima kasih,
Kamu senang dia bisa membantumu, padahal itu juga karena kamu pernah membantunya. Kamu senang ada yang memperhatikanmu, padahal itu karena kamu memperhatikannya. Kadang-kadang kita lupa, dampak baik melakukan kebaikan. Kamu suka membantu orang lain, Kamu suka menolong orang lain, dengan pekerjaannya, dengan mendengar keluh kesahnya, dengan memahami masalah yang dihadapinya, dengan tidak berkomentar jahat terhadap apa yang menimpa dirinya, pun pada yang ditimpakannya pada orang lain. Kadang-kadang kita lupa, kebaikan bisa dilakukan dengan cara apa saja. Kamu senang dia selalu menerimamu, Kamu senang dia selalu bertutur kata dengan baik padamu, itu karena kamu juga berlaku begitu. Tapi, kebaikan tidak selalu menunggu kamu-melakukan-sesuatu-lalu-dibalas-pula-dengan-cara-itu. Kebaikan yang kita, dia, atau siapapun lakukan, pun harus tulus dari hati, dari kemauan diri. Kalau kamu berlaku baik tapi tidak direspon baik, jangan berkeluh kesah, jangan gelisah. Bar
Komentar
Posting Komentar